Pages

About

6 Apr 2010

Manokwari Kota Injil?? Why Not??

Assalamu'alaikum

Pagi hari tadi, penulis mendapatkan pesan singkat (sms) dari  seorang teman yang isinya tentang ajakan untuk sholat Tahajjud dan berdo'a untuk saudara-saudara kita di Manokwari, Papua. Ada apa di Kota Manokwari tersebut??
Di dalam sms tersebut, dijelaskan bahwa Pemda Manokwari akan menetapkan Kota di ujung timur Indonesia tersebut sebagai kota Injil, yang katanya melarang saudari-saudari kita untuk mengenakan Jilbab, melarang Adzan, pembangunan Masjid, dll. Namun apakah benar hal tersebut??


Dalam situs in-christ.net, sebuah situs kaum Nasrani, menjelaskan bahwa  Raperda kota Injil itu sendiri sesungguhnya belum ada, namun telah direspons dengan amat kuat lantaran isi draft yang beredar itu jika kemudian dijadikan perda dikhawatirkan akan berisi nilai-nilai yang bersifat diskriminatif. Apalagi draft usulan itu telah beredar luas tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya, serta tanpa penjelasan yang utuh, maka tidaklah mengherankan komentar yang hadirpun sangat beragam, karena umumnya lebih didasarkan pada asumsi, bukan fakta, dan tampaknya telah menimbulkan dampak negative berupa polarisasi agama, baik dari penggagas, maupun mereka yang menentangnya.

Secara tegas Sekretaris Daerah (Sekda) Manokwari mengatakan, “Perda Manokwari Kota Injil belum pernah ada!” yang ada hanyalah usulan dari masyarakat Kristen, usulan tersebut telah kami terima, namun itu mesti melewati team legislasi, untuk kemudian disusun dalam bentuk perda, dan dalam proses penyusunan itu bisa saja bagian-bagian yang dianggap diskriminatif itu dihilangkan, apalagi usulan itu dihadirkan sebagai respons terhadap pidato-pidato tentang Manokwari Kota Injil, ada pertanyaan, jika Manokwari Kota Injil, isinya apa, dan usulan yang dituangkan dalam bentuk format perda itu adalah usulan dari isi Manokwari Kota Injil.
Hal itu juga ditegaskan kabag hukum Manokwari, menurutnya Perda Manokwari Kota Injil, yang usulan awalnya adalah Perda pembinaan Mental dan Spiritual itu bukan perda agama, karena tidak mungkin menyamakan nilai-nilai Injil yang adalah perintah Tuhan, dengan perda yang adalah buatan manusia, itu justru akan mereduksi nilai Injil itu sendiri. Jadi kami menampung usulan itu dan akan disusun oleh team legislasi dalam bentuk bentuk format raperda untuk kemudian diadakan pembahasan, dan kemungkinan pembahasan itu akan dilaksanakan bulan januari 2008. Ia juga mengatakan, dalam raperda yang akan dibahas itu tentunya tidak akan ada nilai-nilai yang bersifat diskriminatif, tetapi pastilah akan berisi nilai-nilai yang universal yang dapat diterima oleh semua.

Sebutan Manokwari Kota Injil bukanlah sesuatu yang baru, karena sebutan itu terkait dengan peristiwa historis masuknya Injil ke tanah Papua, hanya saja, sebutan itu baru diangkat setelah adanya otonomi khusus. Pergantian nama Manokwari sebagai kota buah-buahan yang kini menjadi Kota Injil itu juga terkait usaha pencarian kekhususan Papua yang dilakukan oleh masyarakat Kristen Papua, dengan mengangkat kembali peristiwa sejarah yang mengawali peradaban baru di Papua yang merupakan buah dari penerimaan Injil oleh masyarakat Papua.
Sejarah melaporkan bahwa dua orang missionari Jerman, pada tanggal 5 Februari 1855, bernama Johann Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow ketika pertama kalinya menjejakan kaki di pulau Mansinam, pulau yang berada di Kabupaten Manokwari, mengucapkan kata-kata penting yang sampai saat ini dipegang oleh masyarakat Kristen Papua, yang mengatakan, “Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini.” Pernyataan dua missionari yang digelari ”Rasul Papua” itu oleh masyarakat Kristen Papua dipercaya sebagai suatu penetapan Tuhan untuk Papua, yaitu sebagai kota Injil, sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian komunitas Kristen Papua yang adalah mayoritas itu sepakat untuk mengubah nama Manokwari yang awalnya adalah kota buah-buahan menjadi kota Injil, dan itu dianggap sebagai realitas histories dari daerah manokwari.
Keinginan agar julukan kota Injil itu ditetapkan untuk Manokwari sesungguhnya bukan semata-mata terkait usaha untuk mengingatkan masyarakat akan keberadaan Manokwari sebagai gerbang masuknya Injil ke tanah Papua, sebagimana diungkapkan beberapa tokoh agama di Manokwari, karena ada diantara mereka yang berpendapat bahwa itu adalah usaha melestarikan nilai-nilai Injil yang terbukti telah mengangkat kehormatan masyarakat Papua, dan secara bersamaan merupakan aspirasi masyarakat Papua untuk mendapatkan harapan baru dari ketertinggalan mereka disbanding daerah-daerah lainnya di Indonesia. Meski kekayaan sumber alam Papua 2 kali ;ebih banyak dibandingka kekayaan seluruh pulau-pulau di Indonesia.
Mereka berharap, Injil yang telah merubah kehidupan masyarakat Papua yang berada dalam kegelapan, hidup dalam kecurigaan, kebencian, saling memangsa sesamanya (mengayau), dan oleh injil itu mereka telah diperdamaikan. Maka mereka juga berharap penetapan Manokwari kota Injil akan menyadarkan masyarakat untuk berjuang mengatasi ketertimggalan mereka. Kekayaan alam yang melimpah ruah di Papua ternyata tidak berdampak banyak bagi kemajuan masyarakat Papua, karena itu harapan mereka kini berbalik pada Injil yang telah mengakat martabat masyarkat Pappua, sehingga seorang tokoh perempuan Papua mengatakan, itu adalah hak-hak dasar masyarakat Papua. Penetapan Manokwari kota Injil diharapkan akan menuntut penduduk kota Manokwari menjaga kelestarian nilai-nilai Injil yang mulai itu dengan hidup sesuai dengan kebenaran Injil.
Usaha untuk memberikan julukan Manokwari sebagai Kota Injil itu sesungguhnya mendapatkan momentumnya setelah aksi demo terhadap pembangunan Mesjid Raya, dengan Islamic Centernya, menurut Pdt. Dimara, Gembala Sidang GKI Elim Koali, Gereja kedua yang dibangun setelah Gereja GKI di pulau Mansinam, luas tanah yang diperuntukan bagi pembangunan Mesjid Raya itu 1 hektare, apalagi posisinya yang sangat strategis, dekat lapangan Udara manokwari, setiap orang yang akan memasuki kota Manokwari tentunya akan melihat mesjid raya yang besar itu, jika jadi dibangun. Kehadiran Mesjid raya itu juga akan melampaui besarnya gereja-gereja Kristen yang adalah agama mayoritas di Manokwari, itu tentu saja menimbulkan perasaan terpinggirkan dari masyarakat Kristen yang adalah mayoritas, hal yang sama juga dikatakan oleh Pdt. Albert Yoku, wakil Sekretaris Sinode GKI, yang berdomisili di Sentani, Jayapura. Menurutnya, persiapan untuk membangun mesjid raya dan Islamic Center itu sudah dikerjakan sejak 2003-2004, itu mengherankan, karena umat muslim tahu, di Kota Manokwari, setiap tahun ada perayaan besar agama Kristen yang dirayakan pada tanggal 5 Februari, hari perayaan masuknya Injil ke tanah Papua dan dipusatkan di pulan Mansinam, dan perayaan itu dirayakan oleh semua orang Kristen Papua, dan mereka biasanya, dari berbagai daerah di Papua tumpah ruah di pulau Mansinam, dan pemerintah juga ikut terlibat memberikan bantuan dalam penyelenggaraan acara akbar itu.
Pendirian mesjid raya oleh umat Kristen, bermula dari GKI yang kemudian menggandeng gereja-gereja lain, sebagai tindakan yang anti toleransi. Sebagai penganut agama Mayoritas tindakan membangun mesjid raya adalah pengabaian eksisitensi Kristen Manokwari, dan itu menimbulkan perasaan terancam di kalangan umat Kristen, Kota Manokwari yang secara histories diakui sebagi kota Injil, dan ditempat itu setiap tahun dirayakan masuknya Injil di Papua, ingin dirubah menjadi kota berbasis muslim, setidaknya dengan cara menghadirkan Mesjid Raya itu, Apalagi pertambahan masyarakat Muslim di Papua cukup signifikan, dan pertain-partai Islam di Papua pada pemilu 2004 telah mengklaim bahwa umat Muslim di Papua sekitar 40% dan terus mengalami pertambahan. Keberhasilan perkembangan agama Islam di Papua itu dianggap melahirkan hegemoni Islam dengan pembangunan rumah ibadahnya yang besar meski tempat-tempat ibadah Islam telah mencukupi.
Dalam perda tersebut, selain tentang penggunaan Jilbab, yang dianggap diskriminatif dan disebarkan secara luas tanpa melihat latar belakang usulan tersebut menurut mereka adalah persoalan larangan kegiatan publik pada hari minggu, tokoh-tokoh agama, menjelaskan, kehadiran kapal penumpang yang menurunkan penumpang dalam jumlah besar pada hari minggu di kota Manokwari yang kecil itu, sangat mengganggu ibadah Kristen, tidak jarang demi mendapatkan rupiah, anggota jemaat, khususnya pengojek lebih memilih untuk tidak menghadiri kebaktian minggu, ini menjadi keprihatinan tokoh-tokoh gereja, karena itu pemerintah diminta tidak mengijinkan kapal masuk pada hari munggu, atau setidaknya setelah jam 12 siang, setelah kebaktian Kristen usai. Hal itu juga dinyatakan oleh anggota DPRD Propinsi, ia mengatakan, dulu kami tidak ada yang bekerja pada hari minggu, hari itu adalah untuk beribadah, tapi kini, hari itu tidak lagi dipedulikan, karena itu perlu aturan untuk mengingatkannya.
Hal lain yang menimbulkan reaksi negative terhadap usulan perda itu adalah masalah suara azan, menurut tokoh-tokoh agama disana, itu tidak perlu dikumandangkan, karena mengganggu umat yang beragama lain, apalagi ini kota Injil. Jadi yang kita minta adalah penghargaan keberadaan kami sebagai umat Kristen yang mayoritas, kami tidak membelenggu kebebasan beragama, tapi sudah semestinya umat Islam juga bertoleransi dengan mayoritas Kristen disini.
Sedang mengenai ijin pendirian tempat ibadah, itu semua sudah diatur oleh pemerintah, jadi wajar saja jika kita meminta mesjid pun perlu mendapatkan ijin dari masyarakat, setidaknya harus mendapatkan ijin dari 150 anggota masyarakat setempat. Menurut beberapa para tokoh agama Papua, itu bukan tindakan diskriminatif, tapi kami perlu memberikan proteksi pada umat kami, agar kehadirannya juga dihargai, dan kami tidak mencontoh Aceh yang mengharuskan semua orang non Muslim di Aceh Berjilbab, kami hanya meminta ada keteraturan, untuk menjaga toleransi yang telah tertanam kuat di Papua ini terjaga dengan baik.


Melihat berita diatas, sesungguhnya kami setuju. Karena apa? Karena untuk melengkapi tempat-tempat di Indonesia yang dijadikan sebagai simbol agama, seperti Aceh dengan Syariah Islamnya yang kuat, Bali dengan Hindunya yang kental, dan Borrobudur sebagai tempat peribadatan umat Buddha yang terbesar di Dunia. Dengan hal itu, tercermin bahwa rakyat  Indonesia sangat toleransi dalam hal beragama. Dan juga, masyarakat Papua terkenal dengan toleransinya yang tinggi terhadap pemeluk-pemeluk agama, seperti dengan diijinkannya masyarakat muslim di Manokwari melakukan sembahyah Ied pada perayaan Idul Fitri di 4 lapangan Bola yang terdapat di Manokwari. Massa yang membanjiri lapangan-lapangan bola itu dapat melaksanakan ibadahnya dengan baik, tanpa gangguan berarti, suasana tenang dan damai menyelemuti perayaan hari raya Idul Fitri tanggal 13 Oktober 2007. Spanduk-spanduk ucapan selamat hari raya menghiasai kota Manokwari, dan itu berasal dari komunitas yang amat beragam.
Namun, tentu saja isi perda yang sangat diskriminatif seperti melarang saudari-saudari kita untuk mengenakan Jilbab, melarang Adzan, pembangunan Masjid, dll sebaiknya dihapuskan saja. Sehingga toleransi antar umat beragama, khususnya umat Muslim dan Umat Nasrani lebih terjaga tanpa menimbulkan polarisasi agam didalam masyarakat Papua, khususnya Kota Manokwari. 
Wassalamu'alaikum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg My Space Favorites More